Sabtu, 17 Oktober 2015

SEPI


            Pada sebuah restoran tingkat dua, kutemukan diriku duduk tepekur seorang diri. Pandang kosongku menerabas bingkai jendela dan lepas liar di antara hiruk-pikuk malam. Ah, Blok M memang tak pernah lengang di malam Minggu.
            Milkshake strawberry dalam gelas plastik di hadapanku tinggal sepertiga lagi. Pizza kering yang hampir membuat perutku berontak, tandas beserta saus-sausnya. Aku butuh sebotol Coca Cola. Atau air putih dingin pun tak apalah.
            Dari suasana meriah di luar, kuhela tatapku mengamati sekeliling. Tak tahu persis aku nama restoran ini. Tapi sering kudengar banyak orang muda seusiaku masuk ke sini. Dan bukan mustahil bila ada satu-dua temanku di antara mereka. Mungkin. Siapa tahu ? Dan siapa tahu dia dapat menolongku membawakan seteguk air pelepas dahaga ?
            Dua puluh tiga meja berderet-deret mengepungku. Seluruhnya penuh. Satu meja kadang disesaki empat orang sekaligus. Bahkan malah ada yang enam, atau delapan. Namun yang paling banyak adalah satu meja dengan sepasang manusia berlainan jenis kelamin. Dan selalu ada tawa manja para gadis di sela suara baritone laki-laki.
            Ah, sebuah rungan yang tak pernah mati. Kegembiraan senantiasa berpusar di sini. Juga keceriaan. Oho, kemelut hidup memang paling bermusuhan dengan malam Minggu – begitu pernah kau katakan dulu.
            Dan aku ikut hadir di antara kesibukan mereka mengunyah malam. Duduk diam-diam di tengah ruangan. Andai saja kau muncul serta-merta, lalu mendapati sebuah meja hanya berpenghuni satu orang. Itu adalah aku dan mejaku.
            Di restoran ini, aku pun turut memamah malam. Tanpa teman, tanpa rasa. Dan detik demi detik yang merangkak, serasa menghimpitku. Kemeriahan di luar yang semaksimal mungkin hendak dipindahkan ke dalam, membuatku kian merasa tersudut. Mataku nyalang mengembara, berpindah dari satu meja ke meja yang lain. Kurasa, aku tengah mencari sesuatu yang kusendiri tak tahu pasti. Mungkin sosokmu ? Atau justru sosokku sendiri ? Namun beberapa detik kemudian, selalu kuperoleh hasil yang sama: nihil. Tak ada siapa-siapa. Dan bodohnya, hal serupa itu berkali-kali kuulangi: memandang nyalang, meneliti satu meja ke meja lain, dan tak menemukan siapa-siapa.
            Tiba-tiba aku seperti kehilangan malam. Dan kebahagiaan mereka menjadi boomerang yang kian menjepitku. Anehnya, aku kok malah ngotot ingin menikmatinya. Seakan ada dorongan gaib dalam diriku yang memaksa pantatku untuk tetap tinggal melekat di atas kursi restoran ini.