Pada sebuah
restoran tingkat dua, kutemukan diriku duduk tepekur seorang diri. Pandang
kosongku menerabas bingkai jendela dan lepas liar di antara hiruk-pikuk malam.
Ah, Blok M memang tak pernah lengang di malam Minggu.
Milkshake
strawberry dalam gelas plastik di hadapanku tinggal sepertiga lagi. Pizza
kering yang hampir membuat perutku berontak, tandas beserta saus-sausnya. Aku
butuh sebotol Coca Cola. Atau air putih dingin pun tak apalah.
Dari
suasana meriah di luar, kuhela tatapku mengamati sekeliling. Tak tahu persis
aku nama restoran ini. Tapi sering kudengar banyak orang muda seusiaku masuk ke
sini. Dan bukan mustahil bila ada satu-dua temanku di antara mereka. Mungkin.
Siapa tahu ? Dan siapa tahu dia dapat menolongku membawakan seteguk air pelepas
dahaga ?
Dua puluh
tiga meja berderet-deret mengepungku. Seluruhnya penuh. Satu meja kadang
disesaki empat orang sekaligus. Bahkan malah ada yang enam, atau delapan. Namun
yang paling banyak adalah satu meja dengan sepasang manusia berlainan jenis
kelamin. Dan selalu ada tawa manja para gadis di sela suara baritone laki-laki.
Ah, sebuah
rungan yang tak pernah mati. Kegembiraan senantiasa berpusar di sini. Juga
keceriaan. Oho, kemelut hidup memang paling bermusuhan dengan malam Minggu –
begitu pernah kau katakan dulu.
Dan aku
ikut hadir di antara kesibukan mereka mengunyah malam. Duduk diam-diam di
tengah ruangan. Andai saja kau muncul serta-merta, lalu mendapati sebuah meja
hanya berpenghuni satu orang. Itu adalah aku dan mejaku.
Di restoran
ini, aku pun turut memamah malam. Tanpa teman, tanpa rasa. Dan detik demi detik
yang merangkak, serasa menghimpitku. Kemeriahan di luar yang semaksimal mungkin
hendak dipindahkan ke dalam, membuatku kian merasa tersudut. Mataku nyalang
mengembara, berpindah dari satu meja ke meja yang lain. Kurasa, aku tengah
mencari sesuatu yang kusendiri tak tahu pasti. Mungkin sosokmu ? Atau justru
sosokku sendiri ? Namun beberapa detik kemudian, selalu kuperoleh hasil yang
sama: nihil. Tak ada siapa-siapa. Dan bodohnya, hal serupa itu berkali-kali
kuulangi: memandang nyalang, meneliti satu meja ke meja lain, dan tak menemukan
siapa-siapa.
Tiba-tiba
aku seperti kehilangan malam. Dan kebahagiaan mereka menjadi boomerang yang
kian menjepitku. Anehnya, aku kok malah ngotot ingin menikmatinya. Seakan ada
dorongan gaib dalam diriku yang memaksa pantatku untuk tetap tinggal melekat di
atas kursi restoran ini.