Senin, 07 September 2015

ANTARA KAMU, AKU, DAN.....



            Matahari sore mengintip malu-malu dari balik awan saat kita duduk di bangku café kesayangan – THE MISDI CAFÉ. Kamu nampak lagi senang. Terlihat dari mata indahmu yang berkilatan seperti cokelat Van Houten. Kamu cerita. Seru. Seru sekali, sementara aku berulangkali lupa pada apa yang sedang kamu ceritakan karena senyummu itu benar-benar bisa membuat orang jadi pikun.
            “…..terus aku kutuk Aliando Syarief menjadi domba,” katamu lalu diam menunggu reaksiku sambil tersenyum. Aduh, aduh, lihatlah. Lekuk mungil itu muncul lagi di pipimu.
            “O, gitu ya ??? Terus ???” tanyaku asal.
            “Terus aku mau pulang !!!” sahutmu galak sambil berdiri bersiap hendak pergi. Rupanya kamu sadar kalau aku nggak nyimak ceritamu lagi.
            “Wow, wow, wow, sorry. Sekarang aku nyimak dah. Terus gimana nasib dombanya ???”
            Kamu meneruskan ceritamu, namun kemudian aku kembali melamun dan berpikir: kemana saja aku setahun itu ???
            Pas setahun yang lalu, aku pertama kali ketemu kamu. Waktu itu hari pertama kita duduk di kelas 2, dan aku baru saja dipilih menjadi ketua kelas hanya karena anak-anak kumat jahilnya. Rasanya, ingin kutendang satu per satu wajah-wajah jelek mereka yang tertawa puas melihatku berdiri kebingungan di depan kelas.
            Mereka tahu betul, kalau aku sama sekali tidak berminat dan berbakat untuk menjadi ketua kelas. Bayangin aja, aku yang waktu kelas 1 dulu jarang masuk (entah gimana ceritanya dulu aku bisa naik kelas), sekarang mesti mondar-mandir ke kantor jika ada guru yang nggak masuk. Belum lagi kalau ada yang nitip absen karena ingin cabut. Enak aja nitip !!! Aku kan pengen cabut juga.
            Tapi ternyata ada kamu. Kamu terpilih menjadi wakil ketua kelas. Dan dengan demikian kita bisa kenalan. Percaya nggak, bahwa saat itu adalah benar-benar saat pertama kalinya aku melihat kamu ? Aku sama sekali nggak kenal kamu meski konon kamu cukup kondang waktu kelas 1 dulu. Mungkin karena kita beda kelas kali ya ? Atau mungkin juga karena aku yang jarang masuk ? Entahlah.
            Tapi yang jelas, anak-anak jahil yang tadi menjerumuskan aku kedalam jabatan konyol ini, mulai memperdengarkan nada-nada sirik. Seperti…..
Yoga misalnya (belakangan aku tahu kalau dia naksir abis sama kamu) ngusulin agar ketua kelas yang baru terpilih dikudeta saja, dan dia mengajukan diri sebagai gantinya.
            Enak saja !!!
            Untung usul norak itu nggak didengerin ama bu wali kelas, jadi aku tetap bisa menjadi ketua kelas. Dan yang bikin aku makin girang setengah loncat, adalah peraturan bu wali kelas yang mengharuskan ketua kelas dan wakilnya duduk sebangku.
            Yihaaa…..Thanks ya anak-anak keparat. Sejak saat itu, dalam waktu dan tempo sesingkat-singkatnya, tiba-tiba saja jabatan ketua kelas menjadi sebuah jabatan yang sangat menarik bagiku.
            Duduk sebangku sama kamu itu enak. Kamu menyenangkan buat diajak ngobrol. Kamu selalu ketawa tiap kali aku cerita yang lucu-lucu. Entah karena betul-betul lucu, atau cuma basa-basi saja, tapi yang jelas ketawamu selalu kedengaran tulus. Kamu juga rajin nyatet, hingga klop dengan aku yang rajin fotocopy. Selain itu, baumu juga enak. Nggak seperti Viktor – mantan teman sebangkuku waktu kelas 1 dulu yang bau ayam karena bapaknya emang jual ayam.
            Intinya, aku senang duduk sebangku sama kamu. Aku senang dengar suara kamu. Aku senang lihat tampang kamu yang selalu segar seperti habis mandi. Dan dengan heran aku menyadari, bahwa aku senang sama kamu.
            Entah kapan mulainya, tiba-tiba saja aku merasa seperti orang yang sakit gigi kalau kamu nggak masuk. Pernah aku dicurigai oleh bu Akuntansi gara-gara aku suntuk nggak ketemu kamu. Dia nanya: “Hey, kamu. Kenapa kusut gitu ? Nggak bikin tugas ya ?”
            Setan ! Untung aku berhasil menangkis tuduhan yang nggak berdasar dan nggak berperikemanusiaan itu. E, tapi kamunya jangan sering-sering nggak masuk ya. Bisa celaka empat belas ntar aku.
            Karena kamu wakilku, dan kita duduk sebangku, maka banyak hal yang kita kerjakan sama-sama. Misalnya, mewakili kelas kita di rapat OSIS, atau rapat-rapat apalah itu namanya (terserah dah). Pokoknya, makin banyak rapat makin banyak pula kesempatanku buat berdekatan dengan kamu.
            Dan di saat-saat seperti itu, saat wakil-wakil kelas yang lain sibuk berdebat sampai ngotot, kita malah asyik saling cerita tentang banyak hal. Tentang bapakmu, tentang ibumu, kakakmu, adikmu, keponakanmu, tetanggamu, anjingmu, semuanya.
            Kamu tahu tentang pohon jambu milik tetangga yang daunnya rontok mulu di halaman rumah tapi buahnya nggak pernah nonggol untuk bisa dicuri, kamu juga tahu akan kegemaranku yang senang menuangkan kehidupan dalam lembaran-lembaran kertas, tentang impianku menjadi tuhan bagi tokoh-tokoh fiktifku.
Begitu juga sebaliknya. Aku tahu lagu kesukaanmu, idola kesayanganmu, bahkan aku juga sempat kenalan sama tukang bakso langganan kamu.
Sampai akhirnya kamu cerita tentang……….
PACARMU !!!
JRENG JRENG (kasih efek dikit biar seru seperti di sinetron-sinetron)
Namanya Adi ? Budi ? Edi ? Yadi ? Ah, terserah dah (aku selalu nggak hafal kalau aku sudah nggak suka orangnya). Maaf ya.
Kamu kelihatan bangga sekali waktu cerita tentang dia. Juga waktu menunjukkan fotonya yang terselip di dompetmu. Si Tedi, atau siapa saja namanya dia, sedang nangkring di atas mobil mewah sementara tangannya merangkul pundakmu. Hiii….rasanya pengen kubakar saja foto itu. Waktu itu, aku sama sekali belum sadar kalau aku sedang cemburu. Yang kurasakan hanyalah aku ingin mencekik mati leher pacarmu. Tapi pasti nggak boleh dah sama kamu. Iya kan ?
Kamu bingung melihat perubahan tampangku.
“Kamu keselek ?” tanyamu waktu itu. Aku cuma menggeleng sambil mencoba berusaha untuk tersenyum (semanis mungkin).
Nggak !!! Cuma patah hati aja kok, kataku dalam hati dengan getir. Namun matamu yang tajam itu segera melihat ada sesuatu yang nggak beres denganku. Dan karena kamu terus menerus menatapku dengan curiga, buru-buru pembicaraan kualihkan ke channel yang lain.
Tapi berhubung kamu sangat bangga dan sayang sama…e, Rudi ya namanya ? Ah, pokoknya kamu sangat bangga dan sayang sama dia, jadi kamu lumayan sering cerita tentang dia. Tentang betapa rajinnya dia memperhatikanmu, juga betapa sabarnya dia kalau menghadapi kamu yang lagi kumat errornya.
Aku berpikir: Aku juga sering memperhatikanmu. Aku juga selalu sabar dengan berbagai idemu yang terkadang emang rada gila. Seperti…waktu kamu maksa pengen pulang jalan kaki dari sekolah ke rumahmu. Padahal kamu sadar kan, kalau itu sangat sangat sangat jauh ? Tapi toh aku mau-mau saja menemani kamu yang juga langsung tertidur kecapean sesampai di rumah.
Coba, aku sama baiknya kan dengan pacarmu ???
“Tidak. Kamu lebih baik dari dia,” katamu tiba-tiba seolah bisa membaca pikiranku. Emang sih, konon katanya kalau kita udah sering melakukan apa saja bersama-sama, maka orang itu dapat mengetahui apa yang ada dalam pikiran kita tanpa perlu kita bicara.
“…..aku serius,” katamu melanjutkan. “Selama ini mungkin aku sudah membohongi diriku sendiri dengan mengatakan aku baik-baik saja kok, lalu berpura-pura bahagialah, berlagak sukacitalah. Dia memang pacarku, tapi sebenarnya aku sering merasa seperti nggak punya pacar. Dianya jarang nelpon, bbm hanya jika ada perlunya saja, pokoknya sering menghilang seperti Batman. Datang semaunya, pergi seenaknya. Aku letih dengan kondisi seperti itu. Terkadang aku sering menangis sendiri dan bertanya pada diri sendiri: Apa benar keputusanku menjadikannya pacarku ? Ataukah aku harus putus ? Lagi pula kita beda. Dan dia juga sering bicara tidak jujur sama aku. Sebenarnya, aku ini pacarnya bukan sih ?”
Sekilas kulihat matamu kelihatan sedih waktu kamu ngomong gitu. Jadi buru-buru kuhibur.
“Kan justru enak kalau dia seperti Batman. Kamu tinggal teriak-teriak aja minta tolong, ntar dia datang. Kalau pun nggak datang, kan masih ada aku ?”
Kamu memandangku dengan tatapan mata yang sulit ditebak. Seperti lagi mikir.
“Justru itu,” katamu. “Kamu mau nggak jadi…jadi…kamu mau nggak jadi kakakku ?”
GRUBYAK…..
“Aku merasa nyaman ber…..”
Aku tak lagi bisa mendengar kata-katamu selanjutnya karena tiba-tiba saja aku merasakan pelangi retak, lalu runtuh menimpa kepalaku.
Kakak ? Jadi kakak ? Kakakmu ? Aku tidak tahu pasti gimana reaksiku saat itu. Kamu kelihatan bersungguh-sungguh sehingga tahu-tahu aku mengiyakan saja. Padahal sejujurnya, aku ingin menjadi lebih dari sekedar kakak buatmu. Entah jadi apamu. Jadi bapakmu barangkali ? Yang jelas, rasanya aku nggak memenuhi syarat buat jadi kakakmu. Tapi baiklah. Apapun asal kamu senang. Terjadilah padaku menurut kehendakmu.
Maka mulai hari itu, jadilah aku sahabatmu yang merangkap jadi kakakmu. Dan aku berusaha seprofesional mungkin agar menjadi kakak yang baik buatmu. Menjadi seperti yang kau minta (Bukan lagu Chrisye lho).
Aku mengantarmu kemana-mana (tapi nggak tak gendong seperti yang mbah Surip lakukan). Naik motor. Sebenarnya, kalau kamu minta diantar sama pacarmu, kamu bisa naik mobil mewah. Tapi sayangnya…..(atau untungnya barangkali ya), dia lain kota sama kamu. Kamu Banyuwangi, dia Pasuruan. Jadi kalau kamu mau pergi kemana-mana sepulang sekolah, kamu lebih sering minta antar aku yang selalu available.
Aku sih senang-senang aja. Kegiatan apapun jadi menyenangkan asal dilakukan bareng kamu. Bener dah. Swear, kalau bohong aku disamber cewek yang lebih cantik dari kamu.
Dan kamu makin sibuk setelah kamu masuk jadi vokalis salah satu band di sekolah kita. Ingat nggak, di malam pertama kali kamu tampil ? Aku berdiri di depan panggung dan berteriak paling keras sampai diusir panitia. Sejak saat itu, kamu jadi dapat banyak tawaran untuk pentas. Dan aku juga makin sibuk mengantarmu, yang menjadikan kita makin dekat sementara kamu makin jauh dengan pacarmu.
Pernah suatu hari dia datang ke sekolah untuk menjemputmu. Tapi kamu sudah pulang duluan dijemput sama ibumu. Waktu itu aku yang lagi nongkrong di warung bu Misdi melihat dia celingukan, jadi aku samperin dia (e, tampangnya mirip…..mirip…..mirip banget ya sama yang difotonya).
 Dan kami kenalan dah. Lantas ngobrol dengan akrab. Aku gagal menemukan alasan untuk membunuhnya, kecuali karena dia memiliki kamu, dia dapat memenangkan hatimu, sedang aku tidak. Pacarmu (bahkan setelah kenal pun, aku masih nggak ‘ngeh’ betul siapa namanya. Hadi kalau nggak salah), bilang kalau dia sudah lama banget nggak ketemu kamu. Terus dia nanya-nanya tentang kegiatanmu. Yah, aku ceritain semuanya. Aku juga bilang kalau aku yang sering mengantar kamu kemana-mana.
Aku pikir, setelah aku bilang gitu dia akan marah. Tetapi ternyata tidak. Dia malah bilang terima kasih karena aku mau bercapek-capek ria menemani kamu.
“Aku lihat kamu tuh orangnya baik. Thanks banget ya, kamu dah mau capek-capek nganterin,” gitu katanya. Aku mengangguk sambil mikir: Ah, seandainya loe tahu perasaanku, nak. Grrrrr #$@%$#%$@%#$%
“Oya, aku minta tolong ingetin dia makan. Kalau lagi sibuk, dia sering lupa makan,” sambungnya lagi. Dan sekali lagi aku hanya mengangguk. (Masa iya sih, kebutuhan hidup aja kamu lupa ? Orang sampe melar gitu, rasanya ga mungkin dah kalau kamu lupa makan.)
Kita pernah makan berdua di berbagai tempat. Mulai dari lesehan emper jalan, sampai restoran mahal yang nama menunya aja susah disebut. Tapi tempat yang paling sering kita samperin, ya The Misdi Café ini. Harganya nggak terlalu mahal, tempatnya bagus, dan yang penting es krimnya enak. Apalagi makannya bareng kamu.
Kamu pernah cerita, kalau di tempat ini juga, kamu sering ribut sama pacarmu. Kamu merasa makin nggak nyambung ngomong sama dia, kamu juga merasa dia terlalu banyak ngatur kamu.
Aku cuma diam waktu kamu ngomong gitu. Padahal aku tahu, sebenarnya bukan itu masalahnya. Masalah sebenarnya adalah AKU. Ya, aku. Waktu kamu sebagian besar dilewatkan bersama aku. Di sekolah, di rumah, di panggung-panggung pentas, di studio latihan. Sementara sama pacar kamu, kamu jarang sekali ketemu. Seminggu sekali saja juga belum tentu. Dan kalau dia nelpon kamu malam-malam, kamu sering udah tidur duluan.
Kamu lebih banyak ketemu aku, ngobrol sama aku, jelas saja kamu lebih nyambung sama aku. Selain itu, aku juga nggak pernah ngelarang-larang kamu. Kamu mau ngapain aja, asal nggak berbahaya dan nggak dilarang Polisi, aku ikutin. Beda sama pacarmu yang sering ngingetin ini dan itu. Maksudnya sih baik, tapi kamu jadi merasa nggak bebas.
Aku bisa lihat dimana permasalahan yang sebenarnya, sementara kamu nggak. Itu wajar. Orang yang terlibat biasanya nggak bisa melihat masalahnya dengan jelas karena dia terlibat di dalamnya. Yang bisa melihat adalah orang lain. Dan orang lain itu adalah aku.
Seharusnya, sebagai sahabat dan kakakmu, aku bilang ke kamu apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa kamu dan pacarmu sebenarnya masih saling menyayangi. Bahwa masalah kalian akan terpecahkan kalau kalian mau berkomunikasi. Seharusnya aku bilang itu ke kamu.
Tapi nggak !!! Aku diam saja. Aku merasa licik sekali waktu itu. Karena diam-diam aku berharap kalian berpisah supaya kamu bisa jadi milikku seutuhnya.
Mungkin aku salah. Tapi aku benar-benar menyayangi kamu. Seandainya kamu tahu, betapa bahagianya aku untuk hal-hal kecil yang pernah kita lakukan bersama. Tahu nggak, waktu kamu ketiduran di bus dan bersandar dipundakku ? Aku nggak mandi sore sesampai di rumah. Takut bekas kamu di pundakku luntur.
Juga waktu kamu mendadak memegang tanganku ketika kamu hampir keserempet becak yang nyelonong tanpa bilang-bilang. Aku merasa jadi cowok yang paling bahagia di dunia. Lihat saja tatapan mata iri cowok-cowok di sekitar kita waktu kamu jalan disampingku.
Salahkah aku jika aku nggak rela melepaskan kebahagiaan-kebahagiaan kecil itu ??? Memang kalau mau jujur pada diriku sendiri, ada perasaan bersalah sama pacar kamu yang baik itu. Toh sebelum kamu dekat sama aku, kamu baik-baik saja sama dia ??? Aku yang bikin rusak. Aku yang bikin kacau. Aku yang bikin segalanya jadi berantakan. Aku maling. Bajingan yang diam-diam berusaha mencuri kamu dari dia.
Setengah mati aku berusaha menulikan diri terhadap suara hatiku sendiri. Tapi aku nggak bisa. Aku nggak mau kehilangan kamu. Lagi pula, ini soal perasaan. Dan perasaan nggak bisa dinilai benar atau salahnya. Iya kan ???
TIDAK !!!
Lho ??? Kenapa nggak IYA saja sih ???
Semalam pacarmu nelpon. (setelah gagal nelpon kamu tentu saja). Kamu ??? Seperti biasa. Kamu ada pentas. Hanya saja kali ini bapakmu yang mengantar. Aku lagi seru-serunya menghayal bikin cerpen dan tahu-tahu pacarmu nelpon.
“E, Yudi. Ada apa Yud ?” sapaku ramah. Pacarmu diam sejenak. Ow ow, jangan-jangan namanya bukan Yudi ya ? Tapi kedengarannya dia ga keberatan ganti nama. Orang nggak protes tuh.
Dia bilang kalau dia habis nelpon kamu, dan kamunya nggak ada.
“Pergi Yud,” jawabku. Udah anggap aja namanya Yudi.
“Ada pentas. Katanya sih di Probolinggo.”
Dia ber- ‘Oo’ lalu diam. Aku jadi gelisah. Apa sih maunya nih anak.
“E, aku mau nanya nih,” katanya setelah puas diam-diaman.
“Tolong kamu bilang ke aku, apa lagi ada cowok yang sedang deketin dia sekarang ?”
ENG ING ENG…..
Mampus loe !!! Dia tahu dah, pikirku.
“Kenapa kamu bisa punya pikiran seperti itu ?” tanyaku berlagak bego.
“Hmm…nggak tahu ya,” jawabnya ragu-ragu.
“Akhir-akhir ini, dia berubah sikap sama aku. Kalau telpon, nggak sampai lima menit aja udah ribut. Katanya aku nggak bisa ngerti kemauannya. Dia juga mulai menyinggung-nyinggung tentang sikapku yang over cuek, tapi kalau datang banyak ngelarang.”
Ganti aku yang ber- ‘Oo’ dan membiarkan dia berkicau lagi.
“Denger dia ngomong gitu, aku jadi merasa bersalah banget. Karena selama ini aku emang jarang nelpon dia. Aku bener-bener sibuk. Dan soal larang-melarang, aku cuma bermaksud baik. Dia tuh kalau dibiarin kadang suka nekat. Nggak ngukur kekuatan sendiri. Pernah waktu itu aku larang dia untuk ikut Camping karena nggak begitu sehat, tapi dia nekat pergi juga karena katanya nggak enak sama teman, udah janji. Yah, waktu pulang jadi sakit beneran.”
Kalau aku ingat-ingat lagi, memang benar sih. Waktu habis jalan kaki yang jauh itu, malamnya kamu juga demam karena kecapean. Iya, ya, kamu memang suka nggak mikir kalau ngelakuin sesuatu. Dan bodohnya, aku nggak pernah ngingetin, tapi malah mendukung. Maju terusssssss.
“Makanya,” pacarmu nerusin lagi. “Kalau kamu tahu ada cowok yang lagi deketin dia, aku minta dikasih tahu. Kalau memang tuh orang lebih cocok sama dia, aku…aku…”, dia diam sejenak. “Aku rela mundur.”
EDAN !!! Ini anak, baik atau bego sih ???
“…..soalnya,” katanya lagi setelah nggak dengar reaksi apapun dariku. “Aku pikir, buat apa maksain terus kalau dia udah nggak sayang lagi sama aku. Jujur saja, aku sebenarnya masih sayang sama dia, tapi buat aku, kebahagiaan dia yang lebih penting. Kalau dia emang lebih bahagia sama orang lain, kenapa nggak ??? E, sorry, kita emang baru kenal, tapi aku…..”
Aku nggak ingat lagi apa yang dia bilang habis itu. Tapi yang jelas, aku berusaha meyakinkan dia bahwa kamu baik-baik saja dan perubahan sikapmu hanya karena kamu makin sibuk pentas. Itu saja. Tapi setelah aku menutup telpon, aku sungguh jadi gelisah. Dan semalaman aku nggak bisa tidur. Kasihan juga ya pacarmu yang baik itu.
Lantas kalau memang perasaan nggak bisa dinilai benar atau salahnya, kenapa sekarang aku jadi Guilty Feeling gini ?
Nggak !!! Ini nggak benar !!! Makanya kamu aku ajak ke café The Misdi ini untuk mengatakan hal yang seharusnya aku katakan sejak dulu-dulu. Jadilah aku sekarang duduk di hadapanmu, mendengarkan ceritamu tentang dombanya Aliando sambil memandangimu.
Ya, Yesus Tuhanku…..Lihatlah, betapa cantiknya dia. Andai saja Kau berikan dia untukku, aku janji padaMu akan menjaganya baik-baik dan tak akan membuatnya menangis sedih.
“Aku mau ngomong nih. Serius.” kataku tiba-tiba. Kamu kelihatan kaget karena baru kali ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah per kakak-adik-an kita, aku berani memotong ceritamu. Kedua ujung alismu yang cantik itu bertemu, dan matamu dipenuhi tanda tanya.
Ngomong, Soentono, ayo ngomong keparat brengsek !!! Aku berusaha menguatkan iman. Habis kamu memang berbakat untuk merusak iman sih. Terutama imannya orang-orang yang seperti aku.
“Semalam pacarmu nelpon aku…..” kataku memulai. Dan bait selanjutnya aku cerita panjang lebar tentang semuanya.
“Hahahahaha”, terdengar suara tawa dari pengunjung café dibelakang meja kita.
Hus !!! Ga tahu orang lagi serius apa ya ?!
“Kamu masih sayang nggak sih sama dia ?” tanyaku diakhir cerita. Kamu diam, lalu perlahan mengangguk (padahal diam-diam aku berharap kamu menggeleng).
“Kalau begitu telponlah dia. Kasihan dia, bingung gitu tanpa tahu apa salahnya,” kataku yang sumpah aku sendiri heran, kenapa aku bisa berkata seperti itu. Mungkin aku sudah SINTING.
A B C D / kuharap kau mengerti / semua ini bukan cerita narasi deskripsi / Hanya perasaan suka  namun sulit hati berkata / Bukan fiktif / Sedikit naïf / Hanya sebuah realita
Cinta ini derita / kuharap kau juga merasa / apa yang kurasa tanpa  banyak tanda tanya / Rasa ini fakta / Selektif bukan posesif / Ku tak ingin berdusta / Ku cinta kau…..
Sebuah lagu dari Bondan Prakoso feat Fade To Black berkumandang menutupi keheningan kita. Dan nggak lama sesudah itu, kita pulang. Kamu jadi pendiam. Pendiam sekali. Aku jadi sedih dan takut melihatnya. Sesekali aku curi pandang ke arahmu, namun kamu hanya menunduk saja, menendangi kerikil-kerikil yang tak berdosa. Kamu kelihatan berpikir keras.
Entah apa keputusanmu nantinya, pokoknya aku sudah menjalankan kewajibanku sebagai sahabat dan kakakmu. Dan pokoknya lagi, aku nggak jadi maling. Pacarmu benar. Seharusnya aku mengutamakan kebahagiaanmu.
“Aku langsung pulang ya ?” kataku sesampai di rumahmu. Kamu mengangguk dan mengantarku sampai di pagar.
Besok mungkin segalanya nggak akan sama lagi.
KAMPRET. Kenapa aku harus jatuh cinta padamu sih ???

DOAKAN BERSAMBUNG
(kalau tamat artinya aku gagal)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar