Matahari
sore mengintip malu-malu dari balik awan saat kita duduk di bangku café
kesayangan – THE MISDI CAFÉ. Kamu nampak lagi senang. Terlihat dari mata
indahmu yang berkilatan seperti cokelat Van Houten. Kamu cerita. Seru. Seru
sekali, sementara aku berulangkali lupa pada apa yang sedang kamu ceritakan
karena senyummu itu benar-benar bisa membuat orang jadi pikun.
“…..terus
aku kutuk Aliando Syarief menjadi domba,” katamu lalu diam menunggu reaksiku
sambil tersenyum. Aduh, aduh, lihatlah. Lekuk mungil itu muncul lagi di pipimu.
“O,
gitu ya ??? Terus ???” tanyaku asal.
“Terus
aku mau pulang !!!” sahutmu galak sambil berdiri bersiap hendak pergi. Rupanya
kamu sadar kalau aku nggak nyimak ceritamu lagi.
“Wow,
wow, wow, sorry. Sekarang aku nyimak dah. Terus gimana nasib dombanya ???”
Kamu
meneruskan ceritamu, namun kemudian aku kembali melamun dan berpikir: kemana
saja aku setahun itu ???
Pas
setahun yang lalu, aku pertama kali ketemu kamu. Waktu itu hari pertama kita
duduk di kelas 2, dan aku baru saja dipilih menjadi ketua kelas hanya karena
anak-anak kumat jahilnya. Rasanya, ingin kutendang satu per satu wajah-wajah
jelek mereka yang tertawa puas melihatku berdiri kebingungan di depan kelas.
Mereka
tahu betul, kalau aku sama sekali tidak berminat dan berbakat untuk menjadi
ketua kelas. Bayangin aja, aku yang waktu kelas 1 dulu jarang masuk (entah
gimana ceritanya dulu aku bisa naik kelas), sekarang mesti mondar-mandir ke
kantor jika ada guru yang nggak masuk. Belum lagi kalau ada yang nitip absen
karena ingin cabut. Enak aja nitip !!! Aku kan pengen cabut juga.
Tapi
ternyata ada kamu. Kamu terpilih menjadi wakil ketua kelas. Dan dengan demikian
kita bisa kenalan. Percaya nggak, bahwa saat itu adalah benar-benar saat pertama
kalinya aku melihat kamu ? Aku sama sekali nggak kenal kamu meski konon kamu
cukup kondang waktu kelas 1 dulu. Mungkin karena kita beda kelas kali ya ? Atau
mungkin juga karena aku yang jarang masuk ? Entahlah.
Tapi
yang jelas, anak-anak jahil yang tadi menjerumuskan aku kedalam jabatan konyol
ini, mulai memperdengarkan nada-nada sirik. Seperti…..
Yoga misalnya (belakangan
aku tahu kalau dia naksir abis sama kamu) ngusulin agar ketua kelas yang baru
terpilih dikudeta saja, dan dia mengajukan diri sebagai gantinya.
Enak
saja !!!
Untung
usul norak itu nggak didengerin ama bu wali kelas, jadi aku tetap bisa menjadi
ketua kelas. Dan yang bikin aku makin girang setengah loncat, adalah peraturan
bu wali kelas yang mengharuskan ketua kelas dan wakilnya duduk sebangku.
Yihaaa…..Thanks
ya anak-anak keparat. Sejak saat itu, dalam waktu dan tempo
sesingkat-singkatnya, tiba-tiba saja jabatan ketua kelas menjadi sebuah jabatan
yang sangat menarik bagiku.
Duduk
sebangku sama kamu itu enak. Kamu menyenangkan buat diajak ngobrol. Kamu selalu
ketawa tiap kali aku cerita yang lucu-lucu. Entah karena betul-betul lucu, atau
cuma basa-basi saja, tapi yang jelas ketawamu selalu kedengaran tulus. Kamu
juga rajin nyatet, hingga klop dengan aku yang rajin fotocopy. Selain itu,
baumu juga enak. Nggak seperti Viktor – mantan teman sebangkuku waktu kelas 1
dulu yang bau ayam karena bapaknya emang jual ayam.
Intinya,
aku senang duduk sebangku sama kamu. Aku senang dengar suara kamu. Aku senang
lihat tampang kamu yang selalu segar seperti habis mandi. Dan dengan heran aku
menyadari, bahwa aku senang sama kamu.
Entah
kapan mulainya, tiba-tiba saja aku merasa seperti orang yang sakit gigi kalau
kamu nggak masuk. Pernah aku dicurigai oleh bu Akuntansi gara-gara aku suntuk
nggak ketemu kamu. Dia nanya: “Hey, kamu. Kenapa kusut gitu ? Nggak bikin tugas
ya ?”
Setan
! Untung aku berhasil menangkis tuduhan yang nggak berdasar dan nggak
berperikemanusiaan itu. E, tapi kamunya jangan sering-sering nggak masuk ya.
Bisa celaka empat belas ntar aku.
Karena
kamu wakilku, dan kita duduk sebangku, maka banyak hal yang kita kerjakan
sama-sama. Misalnya, mewakili kelas kita di rapat OSIS, atau rapat-rapat apalah
itu namanya (terserah dah). Pokoknya, makin banyak rapat makin banyak pula
kesempatanku buat berdekatan dengan kamu.
Dan
di saat-saat seperti itu, saat wakil-wakil kelas yang lain sibuk berdebat
sampai ngotot, kita malah asyik saling cerita tentang banyak hal. Tentang
bapakmu, tentang ibumu, kakakmu, adikmu, keponakanmu, tetanggamu, anjingmu,
semuanya.
Kamu
tahu tentang pohon jambu milik tetangga yang daunnya rontok mulu di halaman
rumah tapi buahnya nggak pernah nonggol untuk bisa dicuri, kamu juga tahu akan
kegemaranku yang senang menuangkan kehidupan dalam lembaran-lembaran kertas,
tentang impianku menjadi tuhan bagi tokoh-tokoh fiktifku.
Begitu juga sebaliknya.
Aku tahu lagu kesukaanmu, idola kesayanganmu, bahkan aku juga sempat kenalan
sama tukang bakso langganan kamu.
Sampai akhirnya kamu
cerita tentang……….
PACARMU !!!
JRENG JRENG (kasih efek
dikit biar seru seperti di sinetron-sinetron)
Namanya Adi ? Budi ?
Edi ? Yadi ? Ah, terserah dah (aku selalu nggak hafal kalau aku sudah nggak
suka orangnya). Maaf ya.
Kamu kelihatan bangga
sekali waktu cerita tentang dia. Juga waktu menunjukkan fotonya yang terselip
di dompetmu. Si Tedi, atau siapa saja namanya dia, sedang nangkring di atas
mobil mewah sementara tangannya merangkul pundakmu. Hiii….rasanya pengen
kubakar saja foto itu. Waktu itu, aku sama sekali belum sadar kalau aku sedang cemburu.
Yang kurasakan hanyalah aku ingin mencekik mati leher pacarmu. Tapi pasti nggak
boleh dah sama kamu. Iya kan ?
Kamu bingung melihat
perubahan tampangku.
“Kamu keselek ?”
tanyamu waktu itu. Aku cuma menggeleng sambil mencoba berusaha untuk tersenyum
(semanis mungkin).
Nggak !!! Cuma patah
hati aja kok, kataku dalam hati dengan getir. Namun matamu yang tajam itu
segera melihat ada sesuatu yang nggak beres denganku. Dan karena kamu terus
menerus menatapku dengan curiga, buru-buru pembicaraan kualihkan ke channel
yang lain.
Tapi berhubung kamu
sangat bangga dan sayang sama…e, Rudi ya namanya ? Ah, pokoknya kamu sangat
bangga dan sayang sama dia, jadi kamu lumayan sering cerita tentang dia.
Tentang betapa rajinnya dia memperhatikanmu, juga betapa sabarnya dia kalau
menghadapi kamu yang lagi kumat errornya.
Aku berpikir: Aku juga
sering memperhatikanmu. Aku juga selalu sabar dengan berbagai idemu yang
terkadang emang rada gila. Seperti…waktu kamu maksa pengen pulang jalan kaki
dari sekolah ke rumahmu. Padahal kamu sadar kan, kalau itu sangat sangat sangat
jauh ? Tapi toh aku mau-mau saja menemani kamu yang juga langsung tertidur
kecapean sesampai di rumah.
Coba, aku sama baiknya
kan dengan pacarmu ???
“Tidak. Kamu lebih baik
dari dia,” katamu tiba-tiba seolah bisa membaca pikiranku. Emang sih, konon
katanya kalau kita udah sering melakukan apa saja bersama-sama, maka orang itu dapat
mengetahui apa yang ada dalam pikiran kita tanpa perlu kita bicara.
“…..aku serius,” katamu
melanjutkan. “Selama ini mungkin aku sudah membohongi diriku sendiri dengan mengatakan
aku baik-baik saja kok, lalu berpura-pura bahagialah, berlagak sukacitalah. Dia
memang pacarku, tapi sebenarnya aku sering merasa seperti nggak punya pacar.
Dianya jarang nelpon, bbm hanya jika ada perlunya saja, pokoknya sering
menghilang seperti Batman. Datang semaunya, pergi seenaknya. Aku letih dengan
kondisi seperti itu. Terkadang aku sering menangis sendiri dan bertanya pada
diri sendiri: Apa benar keputusanku menjadikannya pacarku ? Ataukah aku harus
putus ? Lagi pula kita beda. Dan dia juga sering bicara tidak jujur sama aku.
Sebenarnya, aku ini pacarnya bukan sih ?”
Sekilas kulihat matamu
kelihatan sedih waktu kamu ngomong gitu. Jadi buru-buru kuhibur.
“Kan justru enak kalau
dia seperti Batman. Kamu tinggal teriak-teriak aja minta tolong, ntar dia
datang. Kalau pun nggak datang, kan masih ada aku ?”
Kamu memandangku dengan
tatapan mata yang sulit ditebak. Seperti lagi mikir.
“Justru itu,” katamu.
“Kamu mau nggak jadi…jadi…kamu mau nggak jadi kakakku ?”
GRUBYAK…..
“Aku merasa nyaman
ber…..”
Aku tak lagi bisa mendengar
kata-katamu selanjutnya karena tiba-tiba saja aku merasakan pelangi retak, lalu
runtuh menimpa kepalaku.
Kakak ? Jadi kakak ?
Kakakmu ? Aku tidak tahu pasti gimana reaksiku saat itu. Kamu kelihatan
bersungguh-sungguh sehingga tahu-tahu aku mengiyakan saja. Padahal sejujurnya,
aku ingin menjadi lebih dari sekedar kakak buatmu. Entah jadi apamu. Jadi
bapakmu barangkali ? Yang jelas, rasanya aku nggak memenuhi syarat buat jadi
kakakmu. Tapi baiklah. Apapun asal kamu senang. Terjadilah padaku menurut
kehendakmu.
Maka mulai hari itu,
jadilah aku sahabatmu yang merangkap jadi kakakmu. Dan aku berusaha
seprofesional mungkin agar menjadi kakak yang baik buatmu. Menjadi seperti yang
kau minta (Bukan lagu Chrisye lho).
Aku mengantarmu
kemana-mana (tapi nggak tak gendong seperti yang mbah Surip lakukan). Naik
motor. Sebenarnya, kalau kamu minta diantar sama pacarmu, kamu bisa naik mobil
mewah. Tapi sayangnya…..(atau untungnya barangkali ya), dia lain kota sama
kamu. Kamu Banyuwangi, dia Pasuruan. Jadi kalau kamu mau pergi kemana-mana
sepulang sekolah, kamu lebih sering minta antar aku yang selalu available.
Aku sih senang-senang
aja. Kegiatan apapun jadi menyenangkan asal dilakukan bareng kamu. Bener dah.
Swear, kalau bohong aku disamber cewek yang lebih cantik dari kamu.
Dan kamu makin sibuk
setelah kamu masuk jadi vokalis salah satu band di sekolah kita. Ingat nggak,
di malam pertama kali kamu tampil ? Aku berdiri di depan panggung dan berteriak
paling keras sampai diusir panitia. Sejak saat itu, kamu jadi dapat banyak
tawaran untuk pentas. Dan aku juga makin sibuk mengantarmu, yang menjadikan
kita makin dekat sementara kamu makin jauh dengan pacarmu.
Pernah suatu hari dia
datang ke sekolah untuk menjemputmu. Tapi kamu sudah pulang duluan dijemput
sama ibumu. Waktu itu aku yang lagi nongkrong di warung bu Misdi melihat dia
celingukan, jadi aku samperin dia (e, tampangnya mirip…..mirip…..mirip banget
ya sama yang difotonya).
Dan kami kenalan dah. Lantas ngobrol dengan
akrab. Aku gagal menemukan alasan untuk membunuhnya, kecuali karena dia
memiliki kamu, dia dapat memenangkan hatimu, sedang aku tidak. Pacarmu (bahkan
setelah kenal pun, aku masih nggak ‘ngeh’ betul siapa namanya. Hadi kalau nggak
salah), bilang kalau dia sudah lama banget nggak ketemu kamu. Terus dia
nanya-nanya tentang kegiatanmu. Yah, aku ceritain semuanya. Aku juga bilang
kalau aku yang sering mengantar kamu kemana-mana.
Aku pikir, setelah aku
bilang gitu dia akan marah. Tetapi ternyata tidak. Dia malah bilang terima
kasih karena aku mau bercapek-capek ria menemani kamu.
“Aku lihat kamu tuh
orangnya baik. Thanks banget ya, kamu dah mau capek-capek nganterin,” gitu
katanya. Aku mengangguk sambil mikir: Ah, seandainya loe tahu perasaanku, nak.
Grrrrr #$@%$#%$@%#$%
“Oya, aku minta tolong
ingetin dia makan. Kalau lagi sibuk, dia sering lupa makan,” sambungnya lagi.
Dan sekali lagi aku hanya mengangguk. (Masa iya sih, kebutuhan hidup aja kamu
lupa ? Orang sampe melar gitu, rasanya ga mungkin dah kalau kamu lupa makan.)
Kita pernah makan
berdua di berbagai tempat. Mulai dari lesehan emper jalan, sampai restoran
mahal yang nama menunya aja susah disebut. Tapi tempat yang paling sering kita
samperin, ya The Misdi Café ini. Harganya nggak terlalu mahal, tempatnya bagus,
dan yang penting es krimnya enak. Apalagi makannya bareng kamu.
Kamu pernah cerita,
kalau di tempat ini juga, kamu sering ribut sama pacarmu. Kamu merasa makin
nggak nyambung ngomong sama dia, kamu juga merasa dia terlalu banyak ngatur
kamu.
Aku cuma diam waktu
kamu ngomong gitu. Padahal aku tahu, sebenarnya bukan itu masalahnya. Masalah
sebenarnya adalah AKU. Ya, aku. Waktu kamu sebagian besar dilewatkan bersama
aku. Di sekolah, di rumah, di panggung-panggung pentas, di studio latihan.
Sementara sama pacar kamu, kamu jarang sekali ketemu. Seminggu sekali saja juga
belum tentu. Dan kalau dia nelpon kamu malam-malam, kamu sering udah tidur
duluan.
Kamu lebih banyak
ketemu aku, ngobrol sama aku, jelas saja kamu lebih nyambung sama aku. Selain
itu, aku juga nggak pernah ngelarang-larang kamu. Kamu mau ngapain aja, asal
nggak berbahaya dan nggak dilarang Polisi, aku ikutin. Beda sama pacarmu yang
sering ngingetin ini dan itu. Maksudnya sih baik, tapi kamu jadi merasa nggak
bebas.
Aku bisa lihat dimana
permasalahan yang sebenarnya, sementara kamu nggak. Itu wajar. Orang yang
terlibat biasanya nggak bisa melihat masalahnya dengan jelas karena dia
terlibat di dalamnya. Yang bisa melihat adalah orang lain. Dan orang lain itu
adalah aku.
Seharusnya, sebagai
sahabat dan kakakmu, aku bilang ke kamu apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa kamu
dan pacarmu sebenarnya masih saling menyayangi. Bahwa masalah kalian akan
terpecahkan kalau kalian mau berkomunikasi. Seharusnya aku bilang itu ke kamu.
Tapi nggak !!! Aku diam
saja. Aku merasa licik sekali waktu itu. Karena diam-diam aku berharap kalian
berpisah supaya kamu bisa jadi milikku seutuhnya.
Mungkin aku salah. Tapi
aku benar-benar menyayangi kamu. Seandainya kamu tahu, betapa bahagianya aku
untuk hal-hal kecil yang pernah kita lakukan bersama. Tahu nggak, waktu kamu
ketiduran di bus dan bersandar dipundakku ? Aku nggak mandi sore sesampai di
rumah. Takut bekas kamu di pundakku luntur.
Juga waktu kamu
mendadak memegang tanganku ketika kamu hampir keserempet becak yang nyelonong
tanpa bilang-bilang. Aku merasa jadi cowok yang paling bahagia di dunia. Lihat
saja tatapan mata iri cowok-cowok di sekitar kita waktu kamu jalan disampingku.
Salahkah aku jika aku
nggak rela melepaskan kebahagiaan-kebahagiaan kecil itu ??? Memang kalau mau
jujur pada diriku sendiri, ada perasaan bersalah sama pacar kamu yang baik itu.
Toh sebelum kamu dekat sama aku, kamu baik-baik saja sama dia ??? Aku yang
bikin rusak. Aku yang bikin kacau. Aku yang bikin segalanya jadi berantakan.
Aku maling. Bajingan yang diam-diam berusaha mencuri kamu dari dia.
Setengah mati aku
berusaha menulikan diri terhadap suara hatiku sendiri. Tapi aku nggak bisa. Aku
nggak mau kehilangan kamu. Lagi pula, ini soal perasaan. Dan perasaan nggak
bisa dinilai benar atau salahnya. Iya kan ???
TIDAK !!!
Lho ??? Kenapa nggak
IYA saja sih ???
Semalam pacarmu nelpon.
(setelah gagal nelpon kamu tentu saja). Kamu ??? Seperti biasa. Kamu ada
pentas. Hanya saja kali ini bapakmu yang mengantar. Aku lagi seru-serunya
menghayal bikin cerpen dan tahu-tahu pacarmu nelpon.
“E, Yudi. Ada apa Yud
?” sapaku ramah. Pacarmu diam sejenak. Ow ow, jangan-jangan namanya bukan Yudi
ya ? Tapi kedengarannya dia ga keberatan ganti nama. Orang nggak protes tuh.
Dia bilang kalau dia
habis nelpon kamu, dan kamunya nggak ada.
“Pergi Yud,” jawabku.
Udah anggap aja namanya Yudi.
“Ada pentas. Katanya
sih di Probolinggo.”
Dia ber- ‘Oo’ lalu
diam. Aku jadi gelisah. Apa sih maunya nih anak.
“E, aku mau nanya nih,”
katanya setelah puas diam-diaman.
“Tolong kamu bilang ke
aku, apa lagi ada cowok yang sedang deketin dia sekarang ?”
ENG ING ENG…..
Mampus loe !!! Dia tahu
dah, pikirku.
“Kenapa kamu bisa punya
pikiran seperti itu ?” tanyaku berlagak bego.
“Hmm…nggak tahu ya,”
jawabnya ragu-ragu.
“Akhir-akhir ini, dia
berubah sikap sama aku. Kalau telpon, nggak sampai lima menit aja udah ribut.
Katanya aku nggak bisa ngerti kemauannya. Dia juga mulai menyinggung-nyinggung
tentang sikapku yang over cuek, tapi kalau datang banyak ngelarang.”
Ganti aku yang ber-
‘Oo’ dan membiarkan dia berkicau lagi.
“Denger dia ngomong
gitu, aku jadi merasa bersalah banget. Karena selama ini aku emang jarang
nelpon dia. Aku bener-bener sibuk. Dan soal larang-melarang, aku cuma bermaksud
baik. Dia tuh kalau dibiarin kadang suka nekat. Nggak ngukur kekuatan sendiri.
Pernah waktu itu aku larang dia untuk ikut Camping karena nggak begitu sehat,
tapi dia nekat pergi juga karena katanya nggak enak sama teman, udah janji.
Yah, waktu pulang jadi sakit beneran.”
Kalau aku ingat-ingat
lagi, memang benar sih. Waktu habis jalan kaki yang jauh itu, malamnya kamu
juga demam karena kecapean. Iya, ya, kamu memang suka nggak mikir kalau
ngelakuin sesuatu. Dan bodohnya, aku nggak pernah ngingetin, tapi malah
mendukung. Maju terusssssss.
“Makanya,” pacarmu
nerusin lagi. “Kalau kamu tahu ada cowok yang lagi deketin dia, aku minta
dikasih tahu. Kalau memang tuh orang lebih cocok sama dia, aku…aku…”, dia diam
sejenak. “Aku rela mundur.”
EDAN !!! Ini anak, baik
atau bego sih ???
“…..soalnya,” katanya
lagi setelah nggak dengar reaksi apapun dariku. “Aku pikir, buat apa maksain
terus kalau dia udah nggak sayang lagi sama aku. Jujur saja, aku sebenarnya
masih sayang sama dia, tapi buat aku, kebahagiaan dia yang lebih penting. Kalau
dia emang lebih bahagia sama orang lain, kenapa nggak ??? E, sorry, kita emang
baru kenal, tapi aku…..”
Aku nggak ingat lagi
apa yang dia bilang habis itu. Tapi yang jelas, aku berusaha meyakinkan dia
bahwa kamu baik-baik saja dan perubahan sikapmu hanya karena kamu makin sibuk
pentas. Itu saja. Tapi setelah aku menutup telpon, aku sungguh jadi gelisah.
Dan semalaman aku nggak bisa tidur. Kasihan juga ya pacarmu yang baik itu.
Lantas kalau memang
perasaan nggak bisa dinilai benar atau salahnya, kenapa sekarang aku jadi Guilty
Feeling gini ?
Nggak !!! Ini nggak
benar !!! Makanya kamu aku ajak ke café The Misdi ini untuk mengatakan hal yang
seharusnya aku katakan sejak dulu-dulu. Jadilah aku sekarang duduk di
hadapanmu, mendengarkan ceritamu tentang dombanya Aliando sambil memandangimu.
Ya, Yesus Tuhanku…..Lihatlah,
betapa cantiknya dia. Andai saja Kau berikan dia untukku, aku janji padaMu akan
menjaganya baik-baik dan tak akan membuatnya menangis sedih.
“Aku mau ngomong nih.
Serius.” kataku tiba-tiba. Kamu kelihatan kaget karena baru kali ini, untuk
pertama kalinya dalam sejarah per kakak-adik-an kita, aku berani memotong
ceritamu. Kedua ujung alismu yang cantik itu bertemu, dan matamu dipenuhi tanda
tanya.
Ngomong, Soentono, ayo
ngomong keparat brengsek !!! Aku berusaha menguatkan iman. Habis kamu memang
berbakat untuk merusak iman sih. Terutama imannya orang-orang yang seperti aku.
“Semalam pacarmu nelpon
aku…..” kataku memulai. Dan bait selanjutnya aku cerita panjang lebar tentang
semuanya.
“Hahahahaha”, terdengar
suara tawa dari pengunjung café dibelakang meja kita.
Hus !!! Ga tahu orang
lagi serius apa ya ?!
“Kamu masih sayang nggak
sih sama dia ?” tanyaku diakhir cerita. Kamu diam, lalu perlahan mengangguk
(padahal diam-diam aku berharap kamu menggeleng).
“Kalau begitu telponlah
dia. Kasihan dia, bingung gitu tanpa tahu apa salahnya,” kataku yang sumpah aku
sendiri heran, kenapa aku bisa berkata seperti itu. Mungkin aku sudah SINTING.
A
B C D / kuharap kau mengerti / semua ini bukan cerita narasi deskripsi / Hanya
perasaan suka namun sulit hati berkata /
Bukan fiktif / Sedikit naïf / Hanya sebuah realita
Cinta
ini derita / kuharap kau juga merasa / apa yang kurasa tanpa banyak tanda tanya / Rasa ini fakta / Selektif
bukan posesif / Ku tak ingin berdusta / Ku cinta kau…..
Sebuah lagu dari Bondan
Prakoso feat Fade To Black berkumandang menutupi keheningan kita. Dan nggak
lama sesudah itu, kita pulang. Kamu jadi pendiam. Pendiam sekali. Aku jadi sedih
dan takut melihatnya. Sesekali aku curi pandang ke arahmu, namun kamu hanya
menunduk saja, menendangi kerikil-kerikil yang tak berdosa. Kamu kelihatan
berpikir keras.
Entah apa keputusanmu
nantinya, pokoknya aku sudah menjalankan kewajibanku sebagai sahabat dan
kakakmu. Dan pokoknya lagi, aku nggak jadi maling. Pacarmu benar. Seharusnya
aku mengutamakan kebahagiaanmu.
“Aku langsung pulang ya
?” kataku sesampai di rumahmu. Kamu mengangguk dan mengantarku sampai di pagar.
Besok mungkin segalanya
nggak akan sama lagi.
KAMPRET. Kenapa aku harus
jatuh cinta padamu sih ???
DOAKAN
BERSAMBUNG
(kalau
tamat artinya aku gagal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar