Pagi Ton. Mudah-mudahan kedatanganku pagi ini tak
mengganggumu. Maaf juga ya Ton, kalau baru kali ini aku bisa datang kesini. Tentu
saja setelah usahaku merayu ibu dan meyakinkan pada mereka bahwa aku sudah
sembuh. Oleh karena itu, pagi ini aku bersama ibu datang kesini.
Ton, aku tahu kamu pasti masih menyimpan setumpuk
kemarahan dan kejengkelan terhadap aku. Pun aku tahu kamu tidak bakalan
langsung menegurku. Tentang egoisku dan keras kepalaku selama kita jalan
bareng. Bahkan tentang tingkahku yang cenderung bandel kayak cowok yang
membuatmu selalu kerepotan menyesuaikan diri.
Masih ingat nggak Ton, kalau dulu kamu pernah bilang
bahwa cewek idaman kamu itu yang feminim, nggak cerewet, nggak doyan kelayapan.
Tapi begitu kamu kenal sama aku, selera tentang tipe cewek yang kamu impikan
lenyap. Kamu malah nekat ngejar-ngejar aku. Masih ingat juga nggak kamu sama
Hendra yang ngenalin kamu sama aku ? Kata Isma sebenarnya Hendra juga naksir
sama aku. Tapi dia nggak punya keberanian untuk itu. Padahal kalau
dipikir-pikir, kamu jauh lebih pendiam dari Hendra. Bayangin aja, setiap kita
jalan bareng, pasti aku yang selalu ribut bikin bahan obrolan. Tapi untungnya
kamu selalu nyambung. Bahkan saat aku cerita tentang GreenDay atau Black
Sabbath sekalipun, kamu masih bisa nangkep. Padahal aku tahu betul kalau kamu
nggak suka-suka amat sama jenis musik begituan.
Dan nggak cuma itu, Ton. Ingat nggak ketika
malam-malam aku telepon kamu ? Aku ngotot minta dianterin cari perlengkapan
buat ekspedisi kecil arung jeram. Padahal malam itu kamu lagi asyik nonton
siaran langsung pertandingan sepak bola. Apalagi kesebelasan yang main adalah
tim Argentina – favoritmu. Aku tahu kamu pasti marah besar waktu itu,
sampai-sampai kamu nggak kasih keputusan setelah telepon aku tutup dengan
kerasnya. Tapi sepuluh menit kemudian kamu sudah ada di depan rumah – siap mengantarku.
Jujur saja, itu membuat aku makin suka sama kamu. Padahal
masih banyak lagi yang dapat membuat aku jadi klepek-klepek sama kamu. Seperti mata
kamu yang bagus dengan alis tebalnya yang mirip Shin Chan, lalu hidung kamu
yang khas burung Betet, bibir kamu, semuanya…..E, Ton, kalau ngomongin soal
bibir, kamu pasti ingat waktu aku menampar pipi kamu dulu. Tanpa aku sadari,
tiba-tiba saja kamu telah menyentuhkan bibir kamu untuk yang pertama kalinya,
sementara usia pacaran kita baru jalan tiga bulan. Kalau ingat peristiwa itu,
aku jadi tersenyum sendiri, Ton. Kamu tahu nggak, kalau sebenarnya waktu itu
aku sempat menikmati sentuhan hangat itu. Konyol ya, Ton.
Suatu malam aku sempat merenung Ton, kalau selama
ini aku lebih banyak bikin susah ketimbang bikin kamu senang. Bahkan ketika
usia pacaran kita menginjak tahun pertama. Tanpa aku sadari, aku telah banyak
mengekangmu. Waktumu lebih banyak tersita oleh aku. Dari nganterin latihan
Karate, nungguin kegiatan sosial kampus, jemput kuliah, sampai nungguin aku
latihan darat arung jeram. Apalagi kalau pas mau ngadain ekspedisi dan mendadak
aku manja minta ditemani kamu – yang dengan setia kamu pasti ikut berangkat.
Pokoknya kamu selalu siap sedia bila sedang aku
butuhkan. Nggak pernah aku mendengar kata penolakan dari bibir kamu. Mungkin begitu
sayangnya kamu sama aku ya, Ton. Kadang aku ingin sekali melihat muka marah
kamu. Ingatkan, kamu pernah marah sama aku walau hanya sekali. Waktu itu kamu
nungguin aku di kejuaraan Karate antar kampus yang sempat molor sampai tiga
jam. Padahal kamu sendiri juga ada acara di kampus kamu. Dan sepanjang
perjalanan mengantar aku pulang, kamu terus-terusan memasang wajah sangar tanpa
mengajak aku bicara. Aku jadi bingung sendiri, Ton waktu itu. Aku juga sudah
berulang kali minta maaf, tapi kamu tetap saja diam.
Aku nggak tahu Ton, kenapa kita masih saja tetap
cocok. Mungkin karena kamu terlalu mengerti aku, sampai nggak terasa usia
pacaran kita sudah jalan dua tahun. Tapi yang dua bulan belakangan ini, kamu
udah jarang-jarang nungguin latihan Karate, jarang jemput kuliah, juga jarang
telepon. Kamu agak berubah, Ton. Sungguh. Kalau aku Tanya, kamu selalu bilang
nggak kenapa-kenapa. Sampai akhirnya aku tahu, kalau selama jalan sama aku,
kamu telah banyak mengorbankan waktumu untuk aku. Hingga kuliahmu sendiri jadi
berantakan. Awalnya sih aku masih kurang percaya, tapi setelah aku merenung
lebih jauh lagi, ternyata memang akulah penyebabnya.
Gimana nggak ? Separuh waktumu banyak tersita oleh
aku. Nungguin latihan Karate, bakti sosial, atau latihan darat arung jeram yang
kadang sampai larut malam. Sementara semua kesibukan itu aku lakukan hampir
setiap hari. Malam Minggu yang seharusnya milik kita berdua, tidak pernah kita
nikmati hanya berdua saja – tidak ada gangguan lain. Tapi sepertinya nggak
pernah ya, Ton. Selalu saja ada kegiatan yang harus aku lakukan.
Aku begitu bodoh, Ton. Kenapa aku tidak menyadari
bahwa aku bukanlah Dian yang masih sendiri. Kamu tahu nggak Ton, aku blingsatan
sekali waktu kamu sempat menghindar. Kadang kalau aku kangen sama kamu, nggak
bosan-bosannya aku ngomongin kamu sama teman-teman, juga sama ibu. Nggak sengaja
topiknya selalu tentang kamu. Semua teman-teman tahu, juga ibu, kalau aku suka
sama kamu. Bahkan mungkin lebih tepat kalau dibilang tergila-gila.
Makanya begitu aku menyadari kamu sedikit merenggangkan
hubungan, juga jauh lebih pendiam dari biasanya, aku makin kebingungan, nggak
tahu harus gimana dan bagaimana. Memang kalau lagi suntuk seperti ini, kadang
pikiran bisa sedikit miring. Bahkan aku sempat menghisap rokok punya mas Vidi
yang aku curi dari kamarnya. Aku hisap dalam-dalam dan aku hembuskan
perlahan-lahan. Rasanya tenang sekali. Tapi begitu kamu kasih lampu hijau, aku
kembali jadi lupa diri lagi.
Masih ingat nggak kamu sama ekspedisi di sungai
Citanduy ? Aku paksa kamu untuk ikut karena tanggal ekspedisinya sama dengan
hari jadi pacaran kita yang kedua. Aku jadi punya niat untuk ngerayain bareng
selama ekspedisi. Padahal aku tahu kamu lebih suka diam di rumah sambil baca
buku atau bikin cerpen dan minum secangkir kopi. Namun sementara untuk kali ini
kamu tidak sekedar mengantar atau menunggui, tapi aku paksa kamu untuk ikut
ekspedisi. Tentu saja setelah aku paksa-paksa mas Andre selaku mentor. Dan kebetulan
mas Andre juga kenal baik sama kamu. Ditambah lagi kamunya yang juga sering
mengikuti latihan darat arung jeram walau hanya sebatas mengantar dan menunggui
aku. Kamu tahu nggak, Ton. Aku senang betul ketika mas Andre kasih ijin kamu
untuk ikutan ekspedisi sungai Citanduy. Terus kamu dimasukkan dalam kelompok
caang – sebutan sebagai calon anggota, walau masih satu perahu dengan aku.
Waktu itu hujan lebat turun sejak pagi yang
menyebabkan permukaan air Citanduy naik sekitar satu meter. Arusnya yang
bergolak deras membuat jeram-jeramnya seolah menelan apa saja. Aku tahu Ton,
kamu pasti nggak suka dengan pemandangan itu. Tapi seperti biasa, kamu selalu
diam. Sementara bagi aku dan teman-teman yang lain, itu adalah sebuah tantangan
dan ada kepuasan tersendiri bila dapat menaklukkannya.
Dalam briefing malam sebelum keberangkatan, mas
Andre selaku mentor juga telah memberi omongan panjang lebar kalau tingkat
kesulitan atau grade sungai Citanduy rata-rata adalah tiga dan ditambah dengan
hujan lebat seperti hari ini, mungkin grade sungai Citanduy mencapai lima. Akhirnya
diputuskan masing-masing tim perahu terdiri dari delapan orang. Kebetulan ada
empat perahu yang ikut berangkat, dan tiga lainnya menjadi tim pendukung di
darat. Aku senang sekali Ton, waktu kamu masuk satu tim denganku. Jadi rencana
untuk berarung jeram bersama sambil merayakan hari jadi pacaran kita yang kedua
akhirnya terlaksana.
Tapi……….
Pagi itu, Ton. Segala yang sudah aku siapkan untuk menjadi
sesuatu yang menyenangkan buat aku dan kamu, berubah tiba-tiba – menjadi sesuatu
yang gelap untuk selamanya. Itu terjadi setelah dua jam lepas landas. Perahu mulai
dihadang jeram-jeram yang memaksa para caang bekerja keras. Menjelang Indihiang
– pos persinggahan pertama, tikungan-tikungan tajam sudah siap menghadang. Bahkan
selama hampir dua jam perut tim perahu dikocok medan berat. Di atas daerah
Cukang, di tepi kiri sudah dihadang pusaran air yang mampu menelan beberapa
batang pohon kelapa.
“Kiri kuat !” mas Andre yang satu tim dengan perahu
kita waktu itu kontan berteriak memberi komando. Dan para pendayung termasuk
aku dan kamu – yang memang berada di bantal kiri, segera mendayung lebih cepat dan
keras. Tapi beberapa pendayung termasuk aku dan kamu Ton, terlempar keluar saat
perahu berada di bibir pusaran air. Tiga orang tim pendukung di darat dan tali
yang berada di pinggir perahu sebagai satu-satunya penolong tidak dapat aku
raih. Kamu juga kan, Ton ? Semuanya terjadi begitu cepat. Lalu gelap. Sangat
gelap.
Tahu-tahu tangan lembut ibu telah membelaiku yang
membuat aku terbangun dengan badan terasa seperti dipijit dengan batu kali. Dan
saat aku bertanya pada ibu tentang keadaanmu, ibu hanya diam. Tapi detik
berikutnya mata ibu telah basah dengan airmata. Ternyata kamu pergi lebih dulu,
Ton. Meninggalkan aku untuk selamanya.
Ini benar-benar tidak adil, Ton. Aku yang sebelumnya
tak punya harapan apa-apa justru bernasib baik daripada kamu. Kamu tahu Ton, aku
langsung menangis sejadi-jadinya. Satu hal yang tak pernah aku lakukan sejak
duduk di bangku SMP sampai saat ini. Bagiku, airmata adalah tak lebih dari
sikap yang cengeng belaka. Tapi kali ini aku benar-benar tak dapat
membendungnya. Aku merasa bahwa akulah penyebab semuanya ini, Ton. Aku masih
belum bisa menerima segala peristiwa ini.
Ibu selalu dengan arif mengingatkan bahwa kematian
itu milik Yang Di Atas dan hal itu akan dialami oleh setiap manusia. Namun nggak
harus secepat ini kan, Ton ? Dua tahun kita jalan bareng tapi aku belum pernah
secuil pun membahagiakan kamu. Entah berapa puluh kali malam Minggu selalu kamu
lewatkan dengan hanya menunggui aku di tempat latihan Karate, kegiatan sosial
kampus, atau tempat latihan darat arung jeram tanpa pernah memberi kesempatan
untuk melewati malam Minggu berdua. Hanya berdua saja – kamu….dan aku.
Itu kan Ton, yang kamu inginkan dulu ? Tapi kamu
nggak pernah berontak untuk memiliki malam Minggu tanpa diganggu ini-itu. Seperti
biasa, kamu hanya diam, diam, dan diam. Dan aku pun juga sangat begitu bodoh
dengan ketidakpedulianku terhadap kamu. Sampai akhir hidupmu pun, kamu juga tak
sempat berkata apa-apa. Andai saja kamu punya keberanian untuk menolak ikut
ekspedisi itu, Ton. Dan andai juga aku menyadarinya lebih awal tentang segala
egoku, kita pasti masih dapat bersama.
Ton, sulit rasanya aku percaya kalau kamu sudah
tiada. Benar-benar merenggangkan hubungan denganku untuk selamanya saat usia
pacaran kita genap jalan dua tahun. Terasa pandangan ini menjadi labil dan
kosong, ketika masih dapat terbaca di batu nisan nama Sinau Soentono – sebuah nama
yang teramat sulit untuk dilupakan begitu saja. Aku betul-betul kehilangan. Ada
yang tengah terporak-porandakan di dalam dada ini, Ton. Betapa dalamnya aku
mencintaimu. Tapi aku salah untuk tidak memperhatikanmu – menikmati indahnya
menjadi sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta seperti layaknya
pasangan-pasangan lain.
“Maafkan aku, Ton. Aku akan selalu ingat kamu”,
bisikku sambil terus memandang makam Sinau Soentono dengan mataku yang masih
terasa basah. Aku tak tahu sampai kapan airmata ini akan berhenti bergulir,
Ton.
S E L E S A I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar